Sudah sekian kali Dimas ingkar!
Adis menghela nafas panjang. Matanya nanar menyapu sekitarnya. Mall ini hampir tutup, desisnya sedih sambil mengamati para pegawai yang sibuk memasukkan barang-barang dagangan dan menghitung stock.
Adis terpekur. Dimas tidak datang! Ada apa lagi dengan dia? Bisiknya dengan hati pedih. Adis sudah mencoba memahami perilaku Dimas, namun ia tak pernah mengerti sampai saat ini.
Di sekolah, Dimas selalu terlambat datang. Dengan mata merah dan wajah lesu. Selalu menjadi sasaran kemarahan Guru. Yah, tentu saja karena ia tak pernah membuat pr dan mengantuk saat pelajaran. Istirahat menghilang dan Adis pernah memergokinya merokok di belakang lapangan basket. Kalau saja Adis tak mencintai sosok Dimas, tentu ia sudah memutuskannya sejak dulu. Teman-temannya sering menyesali keputusannya, ketika menerima cinta Dimas.
“Pikirkan dulu Dis, kamu kan tahu gimana Dimas, bandel dan teman-temannya…duh pokoknya nggak level deh sama kamu.” Widya sering menasehati namun Adis tetap pada pendiriannya. Ia mencintai cowok bermata teduh itu dan ia akan mencoba membuat Dimas berubah.
Namun sampai setahun hubungan mereka, Dimas tak juga berubah. Entah mau bagaimana lagi, rasanya sudah berkali-kali dia menasehati cowok itu.
Itu sepuluh tahun yang lalu, Adis menghitung. Dan sejak saat itu, ia tak pernah bertemu Dimas lagi. Sosok Dimas seakan hilang dari bumi. Adis sudah mencari kemana-mana tapi selalu saja nihil. Dan Adis mencoba melupakan Dimas, cinta pertamanya.
Entah kenapa saat ini, di mall yang sama, Adis teringat lagi kenangan itu. Sebenarnya bukan teringat lagi. Kenangan-kenangan bersama Dimas begitu membekas di hatinya dan tak pernah sedetikpun dilupakannya.
Adis berdiri tepat di depan mall, seperti sepuluh tahun yang lalu, di jam yang sama, di hari yang sama, saat ia berjanji untuk bertemu dengan Dimas. Ada gemuruh di dadanya. Apa yang kulakukan? Sudah sepuluh tahun dan aku masih menunggunya? Setia menunggunya dari tahun ke tahun, di jam yang sama, di hari yang sama dan Dimas tak pernah menampakkan batang hidungnya.
Adis tertawa pahit, menyadari kebodohannya. Memang cinta membuatnya bodoh, ia sadari itu. Tapi tetap saja ia berbuat kebodohan itu. Dua jam ia menunggu, sama seperti saat itu, sepuluh tahun yang lalu. Dan hal yang sama juga terjadi, ketika pada akhirnya Dimas tak muncul juga.
Akhirnya, Adis meninggalkan mall itu dengan lunglai.
Melewati koridor menuju tempat parkir, ia melihat sosok pemuda sedang duduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Adis melewati pemuda itu dan ia tak sadar jika pemuda itu, membuka kedua tangannya lalu mengawasinya tanpa berkedip.
Perlahan mata itu mengerjap dan setetes air jatuh di pipinya yang tirus. Adis...., pemuda itu mendesah. Pelahan ia berdiri, ingin menyapa Adis, namun mulutnya seakan terkunci dan kakinya tak kuasa bergerak. Ia hanya berdiri saja dan mengawasi sosok Adis yang mulai menghilang dari pandangan matanya, dengan pedih.
Apakah Adis mau memaafkannya, atas apa yang dilakukannya pada gadis itu? Dimas, pemuda itu bertanya-tanya. Ia ingat, sepuluh tahun yang lalu ia pernah berjanji pada Adis di sini dan itu tak pernah ditepatinya. Tak disangka ia bertemu Adis sekarang.
Benak Dimas dipenuhi peristiwa sepuluh tahun lalu.
Saat itu, ia sudah bersiap-siap hendak pergi, ketika ia mendengar mamanya berteriak dari kamar. Dimas bergegas ke kamar dan mendapati mamanya tergeletak dengan tubuh bersimbah darah, dan di depannya Papa menatapnya dengan wajah beringas. Dimas berteriak ngeri, apalagi melihat ada botol bekas parfum yang pecah di tangan Papa. Dan ada bekas darah di situ.
“Apa yang kau lakukan?” serunya marah. Ditatapnya papanya yang sudah tak dihormatinya lagi, sejak ia selalu memperlakukan mamanya dengan kasar. Sejak ada wanita lain di hati Papa, ia selalu memperlakukan Mama dengan kasar. Dan kali ini Papa betul-betul keterlaluan!
Dimas benar-benar marah! Ia mengajak Mama pergi dari kehidupan Papa. Dan sejak saat itu pula, Dimas tak pernah lagi bertemu dengan Adis. Pernah ia mencoba mencari Adis, tapi kata Ibu kosnya Adis sudah tidak tinggal di sana lagi setelah lulus SMA. Dimas kehilangan jejak Adis. Dimas menyesal, pernah menyia-nyiakan gadis sebaik Adis.
****
“Memang reuninya kapan Wid?” tanya Adis pada Widya.
“Hari Sabtu depan. Kamu sudah dapat undangannya?”
Adis menggeleng.
“Oh...datang saja langsung, Dis. Kamu sih, menghilang setelah lulus!” dumel Widya. Adis tersenyum kecut.
“Kamu sudah menikah?” lanjut Widya. Adis menggeleng. Segurat duka tampak di matanya. Apalagi ketika pandangan matanya tertumbuk pada perut Widya yang membuncit.
“Ini anak keduaku,” jelas Widya dengan mata berbinar.
“Selamat deh,” ujar Adis.
“Apa kamu masih menunggu Dimas?” celetuk Widya.
Adis terkejut. “Apaan sih?” sahutnya sambil memalingkan wajahnya yang memerah. Widya menatap lekat sahabatnya. Guratan di keningnya tampak jelas.
“Benar Dis?” desaknya. Adis mengelak. Ia mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Walau masih penasaran, namun Widya tak bertanya lagi.
****
Adis berdecak kagum.
Sebuah taman yang asri menyambutnya. Ada beberapa pilar di sana yang menaungi beberapa anak tangga yang ditata sedemikian rupa sehingga mirip dengan bangku stadion. Di depannya ada dua buah kolam. Pada kolam yang satu ada sebuah gazebo di tengahnya, sedang kolam yang lain ada lampu-lampu hias yang beraneka warna. Tertangkap mata Adis, ada beberapa ekor angsa di sana.
Saat Adis masuk, beberapa orang menyapanya. Sebagian dari mereka tak dikenalnya, mungkin istri atau suami temannya, Adis tak begitu peduli. Matanya mencari-cari sosok Dimas di antara kerumunan itu. Apakah dia datang?
Lama ia mencari, namun pemuda itu tak terlihat. Rasa kecewa tergurat di wajahnya. Ia beranjak mencari tempat yang lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk teman-temannya, yang saling menyapa dengan suara riuh rendah. Widya juga entah di mana, setelah tadi sibuk mengenalkan buah hatinya pada teman-teman lamanya.
Ada kekosongan dalam hati Adis. Dia berharap bisa bertemu Dimas di sini, namun orang yang ditunggunya tak tampak. Ini saat terakhir dia menunggu Dimas dan ia sudah lelah menunggu. Mungkin Dimas sudah melupakannya! Mungkin juga Dimas sudah menikah dan punya anak!
Aku bodoh! gumamnya pedih, hatinya sakit. Penantiannya yang begitu lama dan ah.. mungkin orang lain akan menertawai kebodohannya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit dan ia telah melewatkan masa remajanya dengan sia-sia. Menolak orang-orang yang mencintainya. Hanya demi seorang Dimas yang entah di mana, yang tak pernah sekalipun menemuinya. Kamu bodoh Dis! suara hatinya menertawakannya. Adis menggigit bibirnya. Di saat teman-temannya bersenda gurau, melepas kangen karena lama tak bertemu, ia justru terpuruk, dengan kesedihan yang tak terperikan.
Bayangan di kolam yang ia amati semakin besar, Adis terperanjat. Siapa? Gadis itu menoleh. Dan ternganga. Dimas? Benarkah?
“Apa kabar Dis?” Benar itu suara Dimas. Tetap berat dan mata itu, sama seperti dulu. Teduh, namun menyimpan misteri. Tapi Dimas terlihat kurus.
“Boleh aku duduk di sini?” suara berat itu membuyarkan lamunannya.
“I..iya,” terbata Adis menjawab. Sesaat hening melingkup. Masing-masing tak bersuara.
“Maafkan aku, Dis,” akhirnya Dimas memecah kebisuan itu.
“Untuk apa?” mata Adis mengerjap. Susah payah ditahannya agar air matanya tidak tumpah.
“Untuk masa lalu yang kuberikan padamu. Kebahagiaan yang tak dapat aku berikan padamu dulu,” suara Dimas hampir hilang. Adis kamu cinta pertamaku dan cinta terakhirku. Apakah kamu masih mencintaiku? Dimas berbisik di hati. Ia tak mau berharap banyak. Pasti Adis telah menikah. Gadis manis bermata indah yang mencuri perhatiannya ini, pasti telah menikah!
“Kamu kemana saja?” Adis memukul dada Dimas. Tak bisa ditahannya lagi air matanya yang mengalir deras di pipinya. Dimas terpaku melihat Adis terisak-isak.
“Adis, ,maafkan aku! Sekali lagi maaf, kamu kenapa?” Dimas kebingungan. Dipegangnya tangan Adis yang masih memukul-mukul dadanya. Dimas membawa Adis ke pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu.
“Kamu kemana saja, aku mencarimu,” suara Adis hampir tak terdengar.
“Ketika itu ada masalah keluarga dan aku..pergi dari kota ini,” Dimas menjelaskan. Adis melepaskan pelukan Dimas.
“Lalu…”
“Papa dan Mama berpisah, dan aku mencoba melupakan masa laluku.”
“Termasuk aku?”
“Tidak!” cepat sekali Dimas menyahut.
“Sebulan setelah aku pergi dari kota ini, aku mencarimu, namun kamu sudah tidak ada di kos. Teman-teman tak ada yang tahu kamu kemana.” Adis tercenung. Jadi Dimas mencarinya, jadi Dimas tidak mencampakkannya?
“Sekali lagi maafkan aku Adis, aku sudah jahat padamu. Setahun aku sia-siakan saat bersamamu, padahal kamu begitu baik padaku.” Dimas berhenti berbicara.
“Aku berdoa, semoga suamimu tidak seperti aku. Semoga suamimu memperlakukan kamu dengan baik dan tidak seperti aku yang meninggalkanmu begitu saja.” Dimas berdiri, hatinya terasa sakit mengatakan hal itu.
“Selamat tinggal Adis, semoga kamu berbahagia,” perlahan sosok Dimas menjauh. Suami? Kening Adis bertaut. Dimas menduga ia sudah bersuami? Apa Dimas juga sudah beristri? Adis tercenung.
“Dimas!” suara Adis bergetar. Langkah Dimas terhenti.
“Kamu sudah beristri?”
Dimas menggeleng, namun ia tak berani berpaling. Adis bersorak dalam hati.
“Apa kamu masih mencintaiku?” suara Adis terdengar dipaksakan. Ia harus menanyakannya. Ini kesempatan terakhir. Aku harus tahu, aku tak mau menunggu lagi, tekadnya. Dengan dada berdebar Adis menunggu jawaban Dimas.
“Apakah itu penting bagimu?” Dimas membalikkan badannya. Dilihatnya Adis mengangguk sambil berurai air mata.
“Kamu satu-satunya yang ada di hatiku,” kata Dimas lirih.
Air mata Adis semakin deras mengalir. Wajah Dimas kabur dalam penglihatannya. Jadi Dimas masih mencintainya? Ia tak berpikir lagi dan menghambur ke arah Dimas.
Dimas terbengong. Adis, gadis manis yang selalu dicintainya ini memeluknya. Gadis manis yang puluhan tahun menghiasi mimpinya itu kini nyata di hadapannya. Dimas tak bertanya lagi ada apa. Ia sudah tahu jawabannya. Dan ia tak akan melepaskan seseorang yang sangat berharga baginya.
Kebisingan itu masih ada, kehiruk pikukan masih ada juga. Namun yang lebih penting, kesunyian tak ada lagi di hati Adis dan Dimas. Kesunyian panjang yang mereka alami bertahun-tahun berganti dengan kebahagiaan karena kesucian cinta mereka.
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar